Move On Ke Zero Waste Cities : Cara Mudah Berkontribusi Meningkatkan Kualitas Hidup Bangsa
Daftar Isi
Dulu saya pasti menggerutu ketika menemukan pengendara mobil membuka kaca lalu membuang sampah sesukanya di jalan raya. Entah itu gumpalan tissu bekas pakai atau bungkus bekas makanan. Saya akan merutuk bahkan meneriakinya.
Sekarang, saya sudah tak melakukan hal serupa karena selain sia-sia saya juga tersindir oleh ucapan aktivis lingkungan Greta Thunberg. Di usianya yang masih belia, Greta pernah menyatakan bahwa sekecil apapun perbuatan kita maka akan mempengaruhi dua hal, menyelamatkan bumi atau merusaknya.
Itulah mengapa saya berhenti melakukannya. Saya memilih untuk memungutnya jika memungkinkan, lalu menyingkirkannya ke tempat sampah. Saya ingin mengambil peran meski tak sebesar langkah yang Greta lakukan. Saya ingin turut serta menjaga bumi meski dilakukan dalam aktivitas yang sederhana.
Beragam kegiatan manusia termasuk aktivitas diatas, tak bisa dipungkiri sekalipun sepele tetap berjasa dalam merusak lingkungan. Dari pada merutuk, lebih baik sampah tersebut saya singkingkan ke tempat sampah. Sedikit banyak saya pun bisa berkontribusi meringankan beban tugas para penyapu jalan.
Jika saya boleh bertanya, pernahkah kamu melakukan hal serupa? Apa yang akan kamu lakukan saat mendapati pengendara demikian? Apakah kamu marah seperti saya atau jangan-jangan kamu pun sering membuang sampah suka-suka di jalan raya?
Krisis sampah merupakan masalah klasik di Indonesia. Mayoritas masyarakat sebenarnya menyadari jika sampah yang berserakan dan menumpuk menjadi sumber munculnya penyakit. Tapi tetap saja sampah masih menjadi pekerjaan rumah yang sulit diselesaikan. Tumpukan sampah juga sudah memberi banyak musibah.
Selain banjir tentu kita tak boleh melupakan apa yang pernah menimpa TPA Leuwigajah di Cimahi pada 21 Februari 2005 silam. Tragedi longsornya tempat pemrosesan akhir sampah tersebut menyebabkan tewasnya 143 warga, mengubur 71 rumah dan 2 kampung yaitu Kampung Cilimus dan Kampung Gunung Aki.
Lagi-lagi, meski demikian kita tetap saja masih belum bisa belajar dari pengalaman. Buktinya produksi sampah di Indonesia terus saja meningkat. Tak tanggung-tanggung jumlahnya sudah mencapai angka 68 juta ton di tahun 2019.
Di Medan, tempat saya lahir dan dibesarkan, jangan di tanya berapa banyak masyarakat yang abai suka buang sampah sembarangan. Jalanan Medan kebanjiran? Sudah biasa di musim hujan. Mudah sekali menemukan tumpukan sampah di pinggir jalan di sejumlah titik Kota Medan.
Meski sampah mengancam kesehatan dan merusak pemandangan nyatanya tak ada perubahan signifikan karena memang penanganannya masih belum maksimal.
Terbukti, Medan berhasil menyabet predikat kota terkotor pada penyerahan Piala Adipura periode 2017-2018 Januari lalu. Predikat tersebut disematkan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) bukan tanpa alasan. Medan mendapat nilai jelek karena belum menerapkan kebijakan maupun strategi nasional (Jakstranas) terkait pengelolaan sampah.
Padahal Undang-undang Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah telah mengamanatkan dengan tegas bahwa Tempat Pembuangan Akhir (TPA) harus menggunakan sistem lahan urug saniter (sanitary landfill), minimal sistem lahan urug terkendali (controlled landfill).
Medan dengan luas mencapai 26.510 hektar (265,10 km²) menghasilkan kurang lebih 2000 ton sampah setiap hari. Jika di total dalam sebulan mencapai 600.000 ton dan jenis terbanyak disumbang oleh sampah organik sisa rumah tangga.
Lebih dari 600 ribu ton sampah hanya berakhir di TPA tanpa menghasilkan apa-apa karena sistem yang digunakan masih menggunakan pola angkut.
Masyarakat membuang sampah, diangkut oleh moda angkutan berupa becak oleh petugas menuju Tempat Pembuangan Sementara (TPS). Selanjutnya dengan truk diangkut menuju TPA. Terdapat satu TPA aktif seluas 14 hektar di Terjun Kecamatan Medan Marelan bersistem operasi open dumping.
Open Dumping adalah sistem pembuangan sampah paling sederhana karena sampah hanya di tumpuk begitu saja tanpa pengelolaan lebih lanjut.
Sistem ini sangat tidak dianjurkan untuk diberlakukan karena menimbulkan banyak persoalan. Mulai dari kontaminasi air tanah, bau menyengat di sekitar lokasi hingga ceceran sampah yang bisa menimbulkan berbagai penyakit.
TPA menggunung jelas sangat berbahaya. Tahun 2019 lalu saya dan beberapa teman berkesempatan mengunjungi langsung TPA Terjun yang berada di Kecamatan Medan Marelan. Meski belum tiba persis di lokasi, masih ada beberapa ratus meter lagi jarak yang harus dilewati namun bau menyengat sudah sangat siap menyergap.
Seolah bersemangat menyambut siapa saja yang akan berkunjung kesana. Truk-truk sampah dari seluruh Kota Medan mengantre keluar masuk untuk menurunkan sampah-sampah yang telah diangkut.
Truk-Truk Sampah Mengantre Menurunkan Sampah (Rizky N Firman) |
Disana, rasanya bergidik melihat gunungan sampah yang tak berkesudahan. Belum lagi antrean para pemulung yang bersiap-siap mengutip sampah yang masih bisa diolah. Mereka menjualnya kembali karena di sekitar lokasi juga terlihat banyak rumah-rumah yang mengumpulkan barang bekas. Waktu itu salah seorang teman saya (Rizky N Firman) sempat mengabadikan kondisinya lewat drone. Beginilah kondisinya.
Krisis sampah yang sedang kita hadapi saat ini membutuhkan lebih dari sekedar solusi baru. Diharapkan solusi tersebut tidak hanya dapat mengatasi sesegera mungkin tumpukan sampah yang sudah menggunung namun juga memudahkan manusia dalam pengelolaannya tanpa menghadirkan masalah baru.
Lantas muncul pertanyaan mampukah kita mengatasi dan mengelola kembali berton-ton sampah yang kita hasilkan?
Zero Waste Lifestyle, Memantik Produktivitas dan Memanusiakan Manusia
Jangan malas memantik produktivitas karena sejatinya penanganan masalah terkait sampah ini seharusnya tidak hanya dilakukan di hilir, tetapi juga di hulu dimana semua stakeholder (Masyarakat, Pemerintah dan Produsen) berperan dan bersinergi di ranahnya masing-masing.
Sudah saatnya mengganti slogan “Buanglah Sampah Pada Tempatnya” karena sudah tidak tepat di zaman ini. Rasanya tak cukup bila 2000 ton sampah dari beragam aktivitas masyarakat hanya dibuang begitu saja meski dibuang pada tempatnya. Ada paradigma yang harus diubah agar sampah bisa berharga dan memiliki nilai guna.
Tindakan memilah sampah dapat dilakukan untuk mewujudkannya dan ini merupakan sebuah solusi yang sekarang sedang gencar dilakukan di beberapa kota di Indonesia. Tindakan memilah sampah lewat program Zero Waste Cities dalam praktiknya, mengutamakan pengelolaan sampah dari sumber dalam skala kewilayahan.
Program ini bertujuan untuk mengurangi beban sampah menuju TPA.
Meskipun kita masih menghasilkan sampah, tapi setidaknya kita bisa membantu mengurangi dan mengolah sampah dengan memisahkan sampah organik dan non organik.
Singkatnya, Zero Waste Cities merupakan sebuah upaya pengelolaan sampah berwawasan lingkungan, berkelanjutan, dan terdesentralisasi di kawasan pemukiman.
Lewat program Zero Waste Cities, semua dididik melakukan pemilahan sampah berdasarkan jenis masing-masing. Edukasi terkait pemilahan sampah diberikan kepada masyarakat tingkat rumah tangga juga kepada petugas kebersihan.
Sampah nantinya dipisahkan dalam tiga kelompok besar yang mudah dibedakan. Ketiganya yaitu organik (sisa makanan), non organik (plastik, kertas, botol) dan beresidu (baterai, popok, pembalut atau barang yang sudah tidak bisa diolah).
Pisahkan Sampah Dalam Tiga Kelompok Besar Agar Mudah Dibedakan (canva.com) |
Mengapa hanya tiga? Tidak lima atau tujuh? Mudah dibedakan menjadi satu standar penentu awal agar gaya hidup ini menjadi kebiasaan di masyarakat. Proses memulai akan lebih mudah jika jumlahnya lebih sedikit karena akan diterapkan ke seluruh lapisan masyarakat dengan tingkat pendidikan, ekonomi hingga pemahaman berbeda-beda.
Ketika sudah terpilah dari rumah pengangkutannya pun harus terpilah karena ini juga kelak akan memudahkan sebanyak mungkin sampah dikelola di kawasan.
Ada dua hal yang akan berubah signifikan ketika kita memilih untuk beralih menuju Zero Waste Cities. Apa itu?
1. Menjaga Sekaligus Memperbaiki Alam
Seperti kita tahu, sampah organik sisa rumah tangga adalah penyumbang sampah terbanyak. Sisa makanan kita ini, jika di kelola dengan baik di kawasan bisa memperbaiki sekaligus menjaga alam dan lingkungan.
Bagaimana caranya? Ada lima pengolahan sampah organik ala zero waste cities. Kelimanya yaitu dengan membuat Lubang Kompos, Bata Terawang, Biodigester, Keranjang Takakura dan Lubang Resapan Biopori.
Membuat Lubang Kompos atau dengan melakukan pengomposan menjadi cara atau alternatif yang banyak digemari masyarakat. Kompos yang dihasilkan kelak dapat di pakai untuk menyuburkan tanaman.
Tanamlah sedikit-sedikit sayuran di pekarangan. Selain lebih sehat ketika dikonsumsi karena tak terkandung pupuk kimia di dalamnya, bukanlah lebih memuaskan jika kita mengkonsumsi makanan yang kita tahu proses tumbuh kembangnya.
Melakukan cocok tanam di pekarangan juga akan menghidupkan kembali tanah sekaligus menambah kesegaran lingkungan. Ini adalah siklus ideal untuk alam. Dapat dilakukan dengan cara sederhana bukan?
Jika seluruh kawasan se-Indonesia kompak melakukan, coba banyangkan bukan hanya jumlah sampah saja yang berkurang namun kualitas udara kita juga bisa membaik dengan sangat signifikan.
Bandingkan dampak yang ditimbulkan jika kita tak melakukan pemilahan? Sampah organik yang tidak terkelola, selain menimbulkan bau dan mengganggu estetika, juga menjadi media perkembangbiakan vektor dan hewan pengerat. Efek tidak langsung sampah organik yaitu meningkatnya penyakit yang dibawa vektor seperti tikus yang bisa menularkan penyakit Leptospirosis.
Efek lainnya, jangan sampai kita harus menghadapi ledakan gas methan dari gunungan sampah tak terolah.
2. Memanusiakan Petugas Kebersihan
Sudah jadi rahasia umum jika petugas kebersihan sampah di Indonesia mayoritas selain berpendidikan cukup rendah juga minim penghargaan. Padahal peran mereka cukup penting dan genting. Petugas sampah yang tidak terbiasa dengan sampah yang sudah terpilah, kelak hanya akan menyia-nyiakan usaha masyarakat memilah sampah di rumah masing-masing.
Petugas sampah harus paham cara mengangkut sampah secara terpilah.
Ada banyak perubahan yang akan dirasakan setelah petugas sampah melakukan pemilahan. Selain meningkatkan kualitas kesehatan, kita pun bisa turut berperan melindungi mereka dari ancaman kehilangan nyawa.
Tak main-main karena ancaman bahaya dari sampah yang dibuang tanpa dipisahkan pernah merenggut nyawa petugas pengumpul sampah di Bandung.
Udung, petugas pengumpul sampah di Kelurahan Neglasari harus kehilangan nyawa setelah 1 bulan menjalani perawatan di rumah sakit akibat terkena sampah tusuk sate. Begitupun dengan Hermawan atau dulu akrab disapa Wawan, tak tertolong lagi ketika ia membiarkan luka akibat tusuk sate yang dideritanya sehingga mesti mengalami infeksi parah.
Petugas kebersihan adalah manusia, sama seperti kita namun kita membuat sistem kerja yang mereka laksanakan hampir tidak manusiawi. Sedari awal sampah bisa dipisahkan, bisa dipilah. Apa salahnya kita memudahkan langkah si petugas. Bukankah memudahkan urusan satu sama lain adalah bagian dari tugas manusia selaku ciptaan Tuhan.
Yuk Gerak!
Bersama Kita Kompak Banyak Berdampak
Pemilahan sampah rumah tangga selain menjadi salah satu keberlanjutan cara menjaga lingkungan juga sebenarnya cukup menguntungkan secara ekonomi. Inilah maksud paradigma baru seperti yang sudah saya sebutkan di atas bahwa sampah bisa berharga dan memiliki nilai guna.
Hal tersebut juga sudah dibuktikan Direktur Rumah Kompos dan Bank Sampah Induk Sicanang, Armawati Chaniago.
Sampah organik dapat dijadikan pupuk berkualitas. Sementara sampah anorganik dapat dijadikan beragam produk kerajinan.
Bank Sampah Induk Sicanang bukan satu-satunya bank yang ada karena terdapat sekitar 40 bank sampah sudah beroperasi di Medan. Meski kesadaran memilah sampah mayoritas masyarakat masih buruk, namun kehadiran 40 bank sampah di Medan cukup membuktikan bahwa tak semua masyarakat tidak memiliki kesadaran.
Lebih tepatnya bukan tidak memiliki kesadaran tapi tidak mau membiasakan diri. Mendorong masyarakat menjaga kebersihan saja tak mudah apalagi meminta mereka merubah kebiasaan dengan melakukan pemilahan.
Selain gencar melakukan edukasi, pemerintah pun harus tegas mendorong masyarakat mau membiasakan diri dengan menerbitkan regulasi. Merubah kebiasaan buruk yang sudah mendarah daging jangan sampai langkahnya stagnan akibat sistem kerja yang diterapkan masih parsial.
Ingat, sampah adalah masalah kita bersama jadi lekas sama-sama diselesaikan.
Regulasi harus dibentuk dan sinergitas harus dibangun. Pemerintah Kota Medan bertanggung jawab atas pengelolaan sampah dan masyarakat yang tinggal di Kota Medan juga harus siap mendukung tegaknya regulasi.
Di Bandung misalnya, masyarakat disana mengenal program Kang Pisman yang menganut sistem Zero Waste Cities. Lewat pendampingan yang dilakukan bersama YPBB, program yang sudah berjalan sejak tahun 2017 tersebut berhasil menangani sampah dari sumber dan telah berhasil mengurangi sampah Kota Bandung hingga 23,13%.
Sama halnya dengan kota Bandung, Medan pun bisa berkaca dari Program Cimahi Barengras di Kota Cimahi yang telah menunjukkan keberhasilannya dalam melaksanakan Zero Waste Cities. Berdasarkan data YPBB yang masuk hingga bulan September 2020, sekitar 38% sampah sudah tertangani sejak dari sumber dan mengurangi beban menuju TPA.
Dukungan dari berbagai pihak tentunya sangat dibutuhkan dalam pencapaian cita-cita bersama menciptakan lingkungan yang bersih dan bebas dari permasalahan sampah.
Akhirnya dengan zero waste lifestyle, kita terbantu untuk mengevaluasi gaya hidup dan melihat bagaimana tindakan kita bisa berdampak terhadap lingkungan, terhadap bumi tempat satu-satunya kita sebagai manusia bisa tinggal.
Lewat Zero Waste pula kita dapat menyadari jika apa yang kita lakukan pasti punya dampak.
(Instagram.com/ypbbbandung) |
Yuk Checklist! Mana nih yang menjadi resolusi Zero Waste mu? Kalau masih dua langkah tentu tak masalah. Ingat! Sekecil apapun perbuatan kita maka akan mempengaruhi dua hal. Menyelamatkan bumi atau merusaknya. Pilihan kita untuk mau melakukan yang mana. Tapi kalau bisa semua, Wah luar biasa pasti dampaknya.
Daftar Referensi (Diakses dari tanggal 10 - 13 Februari 2021)
-https://medan.tribunnews.com/2019/02/21/terima-1000-ton-sampah-sehari-tpa-terjun-sudah-menjadi-gunung
-http://ypbbblog.blogspot.com/2019/08/inilah-mengapa-tusuk-sate-bisa-jadi.html
-http://ypbbblog.blogspot.com/2020/10/false-solution-tawarkan-solusi-dengan.html
-https://www.mongabay.co.id/2019/07/03/tidak-hanya-ganggu-kesehatan-sampah-juga-merusak-lingkungan/#:~:text=Sampah%20tidak%20hanya%20merusak%20kelestarian%20lingkungan%2C%20tapi%20juga%20mengganggu%20kesehatan%20masyarakat.,Pencemarannya%20yang%20bisa&text=Sampah%20organik%20yang%20tidak%20terkelola,Dampak%20langsungnya%20menurunkan%20kualitas%20lingkungan.
Posting Komentar