Kisah Wanita-Wanita Penakluk Media di Medan
Daftar Isi
Menjadi garda terdepan di perusahaan media bukanlah perkara
mudah. Ragam rintangan melintang, berbagai era menjajah, tak membuat ketiga
wanita ini gentar. Di tangan mereka, media massa mengalami kejayaan dan
berkembang pesat. Berdedikasi dan berdikari adalah karakteristik ketiga figur
wanita ini. Ini adalah secuplik kisah dan kiprah pemimpin wanita hebat dibalik
media televisi, radio dan surat kabar Kota Medan.
1. Tiorida Simanjuntak (RADIO KARDOPA)
Siaran Radio Harus Berani Ikut Perkembangan Zaman
Dari masa ke masa radio sudah mengalami perubahan dan menciptakan sejarah perkembangannya sendiri. Pemilik dan pimpinan Kardopa Group, Tiorida Simanjuntak membenarkan hal tersebut. Tiorida mengatakan jika semua radio harus berani mengikuti perkembangan zaman jika ingin terus bertahan.
Beradaptasi Lintas Generasi
Radio Kardopa didirikannya 40 tahun silam, melewati orde baru dari masyarakat masih mengidolakan Rinto Harahap hingga kini memasuki era digital yang mana anak muda tak hanya mengidolakan artis barat seperti Katy Perry saja namun semakin tergila-gila pada budaya Pop Korea (K-Pop).
beroperasional pertama kali tepatnya pada tahun 1967, Radio Kardopa mengudara lewat gelombang Amplitude Modulation (AM). Lalu bermigrasi ke Frekuensi Modulation (FM) pada frekuensi 99,5 FM. Masyarakat bisa mendengarkan celotehan para penyiar maupun lagu-lagu pilihan selama 24 jam dari frekuensi ini. Hingga kini memasuki era internet digital, radio bisa didengarkan secara streaming dimana dan kapan saja.
"Kita harus mengikuti zaman, kalau tidak kita akan kalah. Canggihnya teknologi dan media sosial harus dimanfaatkan untuk mendapatkan pendengar yang lebih luas lagi. Dari radio yang sebelumnya hanya bisa didengarkan secara lokal sekarang sudah bisa dinikmati secara online. Tak takut lagi ketinggalan jadwal penyiar kesayangan, tinggal klik lalu unduh,” katanya.
Sajikan Hiburan Ragam Kalangan
Kardopa bertahan, dari masih menggunakan pita kaset hingga kini cukup dengan melakukan klik. Lokasi kantor salah satu radio tertua di Medan ini masih berada di tempat yang sama yakni di Jalan Iskandar Muda No. 117 A Medan. Lewat beragam program baik on-air maupun off-air, Radio Kardopa ingin merangkul seluruh lapisan masyarakat tanpa terkecuali.
“Sejak awal hingga kini, kita tetap konsisten memutarkan siaran-siaran yang memutar lagu daerah. Bahkan tidak sekadar lagu, penyiar juga menggunakan bahasa daerah di beberapa program. Saya tetap berprinsip muatan lokal tak boleh ditinggalkan. Saya tidak mau beralih dari sana,” ujarnya.
Pengelolaan radio menurut Tiorida juga harus dilakukan lewat manajemen yang profesional.
Terpenting adalah dukungan dari peralatan yang baik seperti kekuatan pemancar. Ini tak bisa diabaikan karena dengan pemancar yang baik cakupan wilayah siaran akan semakin luas.
“Radio Kardopa mengudara dengan bantuan pemancar berkekuatan 5.000 watt. Saya tak bisa lupa ketika hujan disertai angin puting beliung merobohkan dua menara pemancar. Dua menara setinggi 70 meter tersebut menimpa bangunan di sekitar sini dan radio sempat tak mengudara beberapa saat,” ceritanya.
Selama 52 tahun Kardopa berhasil membuktikan dan mempertahankan eksistensinya lewat beragam penghargaan. Paling bergengsi adalah penghargaan sebagai radio terbaik dalam pemberdayaan perempuan dari Gubernur Sumatera Utara. Tak tanggung-tanggung penghargaan tersebut diterima selama tujuh kali berturut-turut mulai dari tahun 2004 sampai tahun 2010.
“Selain radio terbaik tersebut, tahun 2009 Kardopa juga terpilih sebagai radio dengan jumlah pendengar terbanyak di Sumatera Utara. Saya bangga kami mampu menjadi yang terdepan. Tahun 2016 saya menghadiri Konferensi Affiliasi VOA (Voice of America) di Bandung, bangga karena Kardopa menjadi satu-satunya radio yang bekerja sama waktu itu dengan kantor berita dunia,” katanya.
Meski demikian, di tengah majunya perkembangan teknologi, ia tetap berharap pemerintah serius menindak radio liar yang tidak memiliki izin. Menurutnya, mengudaranya radio liar bisa merugikan radio lain yang memiliki izin bahkan patuh membayar pajak rutin, izin frekuensi, Izin Perpanjangan Penyiaran (IPP) dan lainnya.
“Jangan dibiarkan karena sebaiknya diusut yang berada dibalik ini semua. Radio liar yang tetap mengudara melanggar UU No. 36 tahun 1999 tentang Telekomunikasi,” kata wanita 64 tahun tersebut.
2. Linova Rifianty (TV ONE BIRO SUMATERA)
Jurnalis Televisi, Penuh Cerita Seru di Lapangan
Pengalaman menjadi cermin bagi jurnalis untuk membuktikan eksistensi dan rekam jejak mereka. Pengalaman adalah guru paling berharga dan hal tersebut dibenarkan jurnalis senior, Linova Rifianty yang saat ini menjabat sebagai Kabiro (Kepala Biro) Tv One Wilayah Sumatera. Suka duka, susah senang, lara dan asa menjadi jurnalis perempuan ia nikmati dalam berbagai kegiatan peliputan dan produksi berita.
Linova memulai karir jurnalistiknya sejak duduk di semester tiga bangku perkuliahan sebagai fotografer lepas di beberapa media cetak. Ia awalnya tak berniat menjadi jurnalis karena perempuan yang memiliki hobi memotret ini hanya bercita-cita keliling dunia saja. Linova sempat kuliah di Universitas Darma Agung Medan Jurusan Pertanian sebelum akhirnya memutuskan mempelajari ilmu jurnalistik di Sekolah Tinggi Ilmu Komunikasi - Pembangunan Medan.
“Motret dan jalan-jalan itu sepaket karena dengan jalan-jalan aku bisa banyak motret. Salah satu cara keliling dunia gratis waktu itu ya jadi jurnalis. Terbukti ketika akhirnya aku nekat ambil dua perkuliahan, semester tiga sudah ditawari jadi kontributor berita untuk beberapa harian cetak seperti Mimbar Umum dan Waspada,” ceritanya.
Tahun 1994 Linova diterima bekerja di Associated Press, salah satu kantor berita tertua kepunyaan Amerika Serikat. Ia juga sempat menjadi fotografer di Badan Warisan Sumatera, mendata bangunan bersejarah di Sumatera Utara. Ditengah kesibukan itu ia mulai melirik dunia televisi hingga akhirnya di tahun 2002, resmi bergabung dengan Lativi (TV One saat ini).
“Freelance di kantor berita asing dan tiba-tiba terpikir untuk bergabung di TV. Saya lamar di tiga tempat yaitu TV 7, Lativi, Metro TV dan TPI (saat ini MNC). Keterima di TV 7 dan Lativi. Saya pilih Lativi karena saya suka siaran berita Bahasa Inggris mereka,” katanya. Selama enam tahun dari 2002 hingga 2008, Linova menikmati hari-harinya sebagai jurnalis. Memikul kamera berbobot delapan kilogram dan mengunjungi banyak tempat untuk melakukan peliputan berita. Menurutnya dimana pun seorang jurnalis bertugas, penting untuk terus menjunjung tinggi kejujuran dan kode etik jurnalistik.
Disekap Karena Berita
Honor pertama Linova sebagai jurnalis hanya Rp10.000,00- dipotong pajak tersisa Rp8.500,00-. Jelas bukan karena materi ia menggeluti dunia jurnalistik. Lebih dari sekadar mengabdi, bahkan nyawa pun pernah Linova pertaruhkan demi berita.
Tindakan intimidasi yang paling ia ingat terjadi pada tahun 2003 ketika melakukan peliputan berita di Medan. Saat itu tengah ada pembukaan salah satu perumahan elit. Linova disandera ketika akan mengambil gambar. Tangan ditarik, kamera ditahan, kasetnya disita lalu dipaksa masuk ke dalam satu rumah. Ia selamat berkat bantuan dari teman sesama jurnalis walaupun sempat ditahan selama satu jam.
Satu Pesawat dengan Melinda Gates
Siapa yang tak kenal Melinda French? istri pendiri Microsoft Corp yang terkenal dermawan tersebut pernah Linova temui secara tak sengaja di tahun 2004 ketika ia meliput peristiwa tsunami di Aceh. Waktu itu Linova tak kebagian tempat di pesawat padahal harus pulang ke Medan menyerahkan hasil liputan.
“Harusnya gambar dititip lewat Kodam, namun jalan dari Tenong ke Meulaboh putus maka mau tak mau saya harus pulang. Ada tumpangan dari pesawat TNI namun begitu tiba, lapangan udara sudah full. Alhasil saya terdampar. Melihat ada pesawat jet pribadi baru mendarat, milik orang asing langsung saya datangi,” katanya.
Meski tak tahu siapa, Linova tetap menyambangi pilotnya sembari membawa ransel berisi kamera dan peralatan lainnya. Awalnya sang pilot terlihat ragu namun tetap mengizinkannya menumpang. Linova pun melihat ada seorang perempuan duduk di dalam, namun ia tak sadar jika perempuan tersebut adalah Melinda Gates.
“Dia lihat aku dengan wajah yang kucel lalu dia bertanya, kamu tidak masalah duduk di kursi cadangan? Aku segera menjawab tidak asalkan bisa tiba di Medan secepatnya. Keesokan harinya ketika baca berita, ternyata perempuan semalam adalah istri Bill Gates. Kalau tahu, sudah sekalian wawancara karena mereka memberikan bantuan makanan,” ceritanya.
Kantor atau Lapangan, Tantangan Selalu Ada
Tepat 14 Februari 2008, ketika Lativi diakuisisi dan Tv One resmi mengudara, Linova lebih banyak menghabiskan waktu di kantor. Sebagai Kepala Biro ia mengorganisasi 50 kontributor dari wilayah Sumatera dari Aceh hingga Lampung dan 20 stringer (jurnalis lepas) dengan total keseluruhan sebanyak 70 orang.
Berada di lapangan maupun di kantor, tantangan sebagai jurnalis selalu ada. Masing-masing punya nilai, bobot dan kesan tersendiri.
Bagi wanita kelahiran Februari tersebut berada di lapangan maupun di kantor, tantangan sebagai jurnalis selalu ada. Masing-masing punya nilai, bobot dan kesan tersendiri. “Dahulu di lapangan hanya satu berita kriminal per hari, kalau sekarang saya bisa lihat empat hingga lima orang meninggal dengan berbagai cara. Mereka kirim gambar asli mulai dari bayi dibuang, suami memutilasi istri, mayat dalam spring bed dan lainnya.
Tantangannya di sini, jangan sampai saya mati rasa terhadap belas kasih karena terbiasa melihat hal mengerikan tiap hari,” ceritanya.
3. Rayati Syafrin (HARIAN WASPADA MEDAN)
Surat Kabar, Beda Zaman Beda Tantangan
Kita tahu, kehidupan surat kabar Indonesia pada masa orde lama begitu sulit dan penuh perjuangan. Selain sukar menembus blokade Belanda, bahan baku kertas juga susah didapat. Perjuangan untuk terbit pun membutuhkan usaha keras.
Terbit pertama kali tahun 1947, surat kabar rintisan pasangan suami istri asal Medan ini hadir dengan moto “Demi Kebenaran dan Keadilan”. Moto tersebut diusung Ani Idrus dan H. Mohamad Said bukan tanpa alasan. Selama perjalanannya, surat kabar Waspada sudah diberedel berulang kali karena melawan Belanda. Larangan terbit diterima hingga lima kali bahkan buka paksa kantor dan percetakan oleh militer Belanda pun pernah terjadi.
Terbitan pertama habis terjual hingga 1000 eksemplar meski format penerbitan hanya setengah halaman. Tak berhenti di situ, melewati masa orde baru juga tak ada bedanya dengan masa orde lama, masih lekat dengan ancaman beredel. Apalagi kalau bukan lewat ancaman pencabutan Surat Izin Usaha Perdagangan (SUIP) atau telepon tiba-tiba dari pejabat militer (ABRI). Kebebasan pers kala itu memang tidak berjalan secara efektif.
Walaupun demikian, semangat dan ketangguhan tersebutlah yang akhirnya menarik minat Rayati Syafrin untuk serius menggeluti dunia surat kabar. Padahal wanita kelahiran Desember tersebut sebenarnya adalah seorang dokter. Ya, Rayati merupakan alumni Fakultas Kedokteran USU yang akhirnya memutuskan untuk total berkecimpung hingga menjadi Pemimpin Umum karena kagum dengan semangat kedua orang tuanya mendirikan surat kabar di masa sulit dan menjadikan surat kabar sebagai corong pejuang kemerdekaan.
“Dari awal saya sekadar ikut-ikutan saja. Namun akhirnya benar-benar tertarik dan memutuskan untuk berkecimpung total. Ilmu Kedokteran saya gunakan ketika saya menjadi dokter keluarga saja,” ceritanya.
Perjalanan Lima Dekade Waspada
Selama 50 tahun lebih Rayati terjun dalam dunia surat kabar di Medan. Tak hanya mengikuti jejak kedua orang tua, Rayati menekuni berbagai bidang terkait seperti periklanan. Ia juga mengikuti bermacam kongres persuratkabaran baik di dalam maupun luar negeri. Menghadiri Royal Wedding Pangeran Charles dan Lady Diana pada 29 Juli 1981 hingga diundang Tun Dr. Mahathir Mohamad, mantan Perdana Menteri Malaysia pada 1 April 2019 lalu.
“Sebelumnya Waspada sudah terlebih dahulu mengundang beliau mengisi seminar terkait Good Governance pada 2016 dan 2017. Saya berharap lewat seminar tersebut masyarakat mendapat manfaat dan belajar bagaimana menjadi pemimpin yang baik,” ujarnya.
Hari ini surat kabar Harian Waspada berhasil membuktikan diri, menembus usia 72 tahun selalu terbit tanpa jeda meski melewati berbagai tantangan. Termasuk ketika si jago merah di tahun 1980 melahap dengan ganas bangunan kantor Waspada yang sudah berdiri sejak tahun 1947 tersebut.
“Tidak mungkin saya lupakan saat kantor Waspada terbakar. Seluruh isi kantor termasuk percetakan mengalami kerusakan berat namun Waspada tetap terbit seperti biasa. Tetap hadir di tengah masyarakat meski delapan halamannya berwarna hitam putih,” kenang Rayati.
Bersinergi dengan Media Online
Rayati meyakini jika tiap zaman memiliki tantangan tersendiri. Namun dengan kerja cerdas, semua tantangan akan memberikan pelajaran dan kesannya masing-masing. Semua bisa dilewati dengan baik, dan fungsi sebagai media tetap dijalankan.
Begitupun dengan menghadapi persaingan antar media massa di era digital yang semakin sengit. Mulai dari media cetak, elektronik seperti televisi dan radio diisukan akan tenggelam dengan hadirnya media online. Bahkan muncul anggapan jika kehadiran media online perlahan mematikan media cetak karena informasi yang disajikan kalah cepat dan aktual.
“Pembaca saat ini sudah lebih cerdas dalam menentukan informasi yang akan di aksesnya. Masyarakat pun bisa memutuskan sendiri akses informasinya lewat apa. Namun inilah tantangannya dan bukan berarti harus mundur. Lebih giat dan tidak patah semangat,” jelas wanita yang senang membaca ini.
Informasi dari sebuah peristiwa harus disajikan secara mendalam dan aktual. Ini penting untuk menarik perhatian publik. Gencarnya pemberitaan lewat media online harusnya bisa memberikan sinergi yang baik dalam penyampaian ragam informasi ke tengah-tengah masyarakat.
“Inilah mengapa jurnalis harus terus belajar, mengasah dan meningkatkan kemampuan tidak hanya dalam menulis namun mengikuti kemajuan teknologi. Wartawan harus punya banyak kemampuan (multitasking) karena jika tidak profesionalisme, hanya sebuah keniscayaan. Jangan cepat berpuas diri karena tantangan semakin kompleks,” tambahnya.
Wanita yang dulunya aktif berolahraga bowling tersebut mengumpamakan lewat salah satu film favoritnya, The Towering Inferno. Film yang disutradarai oleh John Guillermin tersebut berkisah tentang gedung tertinggi dunia yang terbakar. Peran penyelamat dalam membebaskan penghuni gedung dari kepungan api yang sangat berbahaya bisa menjadi contoh bahwa kita tak boleh berputus asa dalam keadaan apapun.
Penulis: Imada Lubis
Fotografer: Vicky Siregar
This articles had been published on KOVER MAGAZINE ISSUE #113 (Oktober 2019)
Posting Komentar